Menu Close

Peran meta-analisis dalam riset medis: khasiat ivermectin pada pasien COVID belum pasti

Petugas kesehatan menyuntik vaksin COVID-19 pada pemuda di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 6 September 2021. ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/hp

Di tengah puncak pandemi COVID-19 di Indonesia pada Juni lalu, Menteri BUMN Erick Thohir tiba-tiba mempromosikan ivermectin sebagai obat untuk COVID-19.

Ivermectin, obat anti-parasit untuk penyakit seperti cacingan, kudis, dan kutu kepala merupakan obat keras yang konsumsinya wajib disertai resep dokter.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kemudian membuat klarifikasi tidak merekomendasikan obat tersebut untuk pasien COVID karena belum kuatnya bukti ilmiah.

Pendapat berbeda bukan hanya di kalangan pejabat dan lembaga publik, tapi juga di dunia riset. Satu studi – sebuah meta-analisis – di The American Journal of Therapeutics menyatakan adanya manfaat klinis nyata dari ivermectin untuk COVID-19. Namun, meta-analisis lainnya tidak menemukan manfaat ivermectin dan masih perlu data dan uji klinis lebih lanjut.

Mengapa studi-studi meta-analisis ini hasilnya bertentangan?

WHO tidak merekomendasikan obat ini untuk pasien COVID-19. HJBC/Shutterstock

Meta-analisis dan kegunaanya

Meta-analisis adalah metode statistik yang berupaya menggabungkan secara kuantitatif temuan dari beberapa studi untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih kuat dan lengkap. Meta-analisis mengoptimalkan data kumulatif tanpa perlu menunggu pengumpulan data ulang melalui uji klinis baru berskala besar.

Dalam ranah kedokteran, uji klinis dengan jumlah relawan kecil hingga sedang (misalnya puluhan–ratusan) lebih jamak ditemui. Akibatnya, temuan studi seringkali belum final dan bisa bertentangan satu sama lain.

Idealnya, meta-analisis diawali dengan telaah sistematik dari literatur yang sudah ada. Kemudian, studi-studi yang memenuhi syarat akan dievaluasi kualitas metodenya. Temuan dari studi-studi dengan kualitas baik kemudian akan dirangkum dengan meta-analisis.

Sederhananya, bila saat ini terdapat 10 uji klinis yang metodenya serupa dan relevan, masing-masing melibatkan 500 relawan, maka meta-analisis mampu melebur 10 temuan uji klinis tersebut dalam satu model statistik. Sehingga diperoleh temuan baru seperti satu uji klinis yang telah mengikutsertakan sekitar 10 × 500 = 5.000 relawan.

Salah satu contoh klasik meta-analisis yang diperkirakan telah banyak menyelamatkan nyawa ialah studi pemberian steroid pada ibu hamil untuk membantu pematangan paru-paru dari bayi yang lahir prematur. Meta-analisis sudah mendeteksi ini kurang lebih 10 tahun lebih awal dibanding saat diadopsi ke dalam pedoman pengobatan pada 1994.

Meta-analisis ivermectin pada COVID-19

Bermula dari temuan awal studi laboratorium yang mengindikasikan adanya khasiat ivermectin pada COVID-19, obat ini mulai diteliti lebih jauh hingga tahap uji klinis.

Temuan-temuan ini kemudian disintesis secara komprehensif dalam meta-analisis agar ditemukan kesimpulan terbaik mengenai efek ivermectin (apakah bermanfaat atau justru merugikan) pada pasien COVID-19.

Publikasi meta-analisis ivermectin pun kemudian menjamur.

Beberapa menyebut ivermectin bermanfaat, sebagian lain menyimpulkan efeknya belum pasti dan masih perlu data dan uji klinis lebih lanjut. Inkonsistensi hasil studi ini disebabkan oleh perbedaan (1) karakteristik studi yang diikutsertakan, (2) penilaian kualitas metode studi, (3) definisi luaran klinis, hingga (4) metode meta-analisis yang digunakan.

Salah satu yang marak dibicarakan adalah meta-analisis dari Andrew Bryant dan koleganya di Inggris yang mengikutsertakan 15 uji klinis dengan total 2.438 relawan pasien COVID-19.

Dalam meta-analisis ini, peneliti menyimpulkan ivermectin mampu menekan risiko kematian akibat COVID-19 hingga 62% (interval kepercayaan 95%: 27–81%).

Jika estimasi ini valid, efek sedemikian besar pada angka kematian dapat menjadikan ivermectin salah satu “keajaiban” selama pandemi COVID-19.

Namun, kembali kami tekankan, kualitas meta-analisis bertumpu pada kualitas studi-studi yang terlibat di dalamnya.

Belakangan, salah satu uji klinis oleh Elgazzar dari Universitas Benha, Mesir dan koleganya yang mendasari meta-analisis di atas ditarik karena permasalahan etik. Ada dugaan kuat terjadi rekayasa data dan plagiasi.

Elgazzar memperkirakan bahwa pemberian ivermectin, dibanding placebo (obat kosong) menurunkan risiko kematian sekitar 90%. Sebagai salah satu studi dengan ukuran sampel yang paling besar (400 relawan) maka uji klinis ini diberi bobot lebih besar. Dengan demikian, banyak mempengaruhi atau “menarik” hasil meta-analisis cenderung bias ke arah manfaat ivermectin.

Apakah studi tersebut dapat dipercaya dan layak diikutkan dalam meta-analisis? Ketika meta-analisis Bryant tidak mengikutsertakan studi yang dinilai berisiko bias tinggi, ternyata efek protektif ivermectin untuk risiko kematian COVID-19 tak lagi konklusif.

Akibat skandal ini, Bryant pun akan menarik publikasi meta-analisisnya dan merevisinya.

Sejauh ini, bukti untuk mendukung penggunaan ivermectin masih belum cukup kuat dan uji klinis yang dirancang dengan baik dan sampel yang cukup masih perlu dilakukan.

Sebuah uji klinis yang berfokus pada negara berpendapatan rendah dan menengah: TOGETHER Trial tidak menemukan efek signifikan penggunaan ivermectin kepada risiko perawatan panjang di unit gawat darurat dan masuk rumah sakit. Contoh studi lain yang sedang berjalan adalah PRINCIPLE Trial yang dipimpin oleh University of Oxford.

Kelemahan meta-analisis

Laiknya semua metode ilmiah, meta-analisis juga memiliki titik lemah.

Pertama, kualitas temuan yang dilahirkan meta-analisis tentu sangat bergantung pada kualitas studi-studi dan data yang mendasarinya. Jika data dan metode studinya kualitasnya kurang baik, begitupun hasilnya.

Subjektivitas peneliti dalam memberi nilai seberapa baik suatu studi pun kerap menjadi sebab beberapa meta-analisis menemukan hasil yang bertentangan.

Ada potensi cherry-picking, mengambil hasil-hasil yang menguntungkan saja, dengan mengikutsertakan studi-studi yang mendukung hipotesis peneliti saja dan mengabaikan yang tidak sependapat.

Ada pula potensi bias publikasi yakni kans suatu studi terpublikasi yang dipengaruhi oleh temuan studi itu sendiri, apakah “menarik” atau tidak.

Solusinya, pengerjaan meta-analisis optimalnya dibarengi dengan systematic review. Termasuk di dalamnya tahap telaah kualitas studi agar studi dengan kualitas rendah tidak ikut mempengaruhi hasil meta-analisis. Pelaporan systematic review dan meta-analisis pun harus rinci dan transparan.

Untuk memahami sebuah studi meta-analisis dibutuhkan keahlian dan pengalaman, sehingga berbagai titik lemah ini dapat sepenuhnya dievaluasi sesuai konteks.

Organisasi Kesehatan Dunia dan Administrasi Obat dan Pangan Amerika Serikat merekomendasikan penggunaan ivermectin hanya dalam konteks uji klinis. Ini senada dengan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia dan BPOM.

Artinya saat ini, penggunaan ivermectin dalam praktik pengobatan COVID-19 sehari-hari tidak dianjurkan.

Namun, ivermectin masih sempat beredar bebas di situs-situs e-commerce sehingga memudahkan penggunaan yang tidak diawasi oleh petugas medis. Penggunaan obat yang belum terbukti, apalagi tidak dalam pengawasan dokter, dapat berakibat buruk dengan berbagai efek samping.

Jika biaya yang digunakan untuk memperoleh ivermectin dibebankan ke sistem jaminan kesehatan masyarakat, hal ini akan mengalihkan sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk obat-obatan lain yang telah terbukti efektif. Orang-orang yang membutuhkan ivermectin untuk penyakit lain juga bisa kesulitan mendapatkannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now