Menu Close

‘Platform coop’: bagaimana koperasi pekerja ekonomi ‘gig’ bisa meredam dominasi perusahaan teknologi

Koperasi platform
PictMotion/shutterstock

Transformasi global dan masifnya penggunaan internet melahirkan fenomena ekonomi gig dan menyuburkan pertumbuhan pekerja prekariat–mereka yang bekerja tanpa atau dengan kontrak fleksibel, dalam kondisi ketidakpastian, dan kerap dikaitkan dengan upah rendah dan minimnya perlindungan. Artikel ini merupakan bagian dari serial #GenerasiRentan yang khusus membahas mengenai ekonomi gig dan pekerja prekariat di Indonesia.


Di tengah perkembangan pesat ekonomi digital, perusahaan platform seperti Gojek, Grab, dan Uber telah mengubah lanskap pekerjaan secara drastis. Namun, fenomena pertumbuhan ini juga menimbulkan banyak permasalahan, termasuk meningkatnya pemutusan mitra kerja yang terjadi secara sepihak dari aplikator dan kondisi kerja yang tidak adil.

Ini terlihat misalnya dalam bentuk gamifikasi, sistem pelevelan dalam layanan ojek daring yang mengakibatkan para pengemudi terkotak-kotak dan merusak perekonomian mereka. Pendapatan menurun drastis bagi pengemudi dengan level paling rendah. Sistem ini juga menciptakan persaingan antarpengemudi, memecah solidaritas sosial, dan cenderung eksploitatif.

Platform coop atau koperasi platform adalah alternatif yang dapat menyikapi beragam permasalahan ini.

Pada intinya, koperasi platform menggunakan model bisnis koperasi: menggabungkan kenyamanan dan efisiensi platform daring dengan prinsip kerja sama dan kepemilikan bersama.

Konsep ini berbeda dari model bisnis platform yang dikendalikan oleh pemilik. Sebab, koperasi platform dimiliki oleh para pihak yang bergantung padanya, yaitu mitra dan konsumen. Ini secara otomatis membuat pengambilan keputusan penting berada di tangan mereka.

Merespons masalah yang membelit perkembangan bisnis platform di Indonesia, model bisnis koperasi platform bisa menjadi jawaban.


Read more: Dari ojek hingga penerjemah: berapa banyak pekerja ekonomi gig di Indonesia dan bagaimana karakteristik mereka?


Apa kelebihan koperasi platform?

Koperasi platform membawa beberapa keuntungan yang signifikan bagi para mitra.

Pertama, pendapatan yang dihasilkan oleh mitra di koperasi platform biasanya lebih tinggi daripada platform berbasis investor.

Up And Go, sebuah koperasi platform di bidang jasa pembersih di New York, Amerika Serikat (AS), yang beroperasi sejak 2017, dapat menjadi contoh bagaimana model bisnis ini sukses menyediakan upah layak bagi mitranya.

Pada 2017, para pekerja mereka mengantungi rata-rata pemasukan sebesar US$22,25 (Rp343.100) per jam, lebih besar dari rata-rata upah di New York yang sebesar US$17,27 (Rp263.400) per jam. Pendapatan mereka juga US$4-5 lebih tinggi dari penyedia layanan kebersihan lain di wilayah tersebut.

Karena hak atas kekayaan intelektual dan merek platform dimiliki dan dikelola bersama oleh para mitra, keuntungan yang dihasilkan dari layanan pun berada di tangan para mitra. Hanya 5% dari pemasukan setiap pesanan yang masuk digunakan untuk menjaga platform, sisanya diberikan kepada mitra yang melakukan pekerjaan. Ini memungkinkan mitra untuk mempertahankan sebagian besar pendapatan yang dihasilkan.

Keuntungan kedua adalah proses pembuatan keputusan dan kebijakan yang lebih demokratis dan sesuai dengan kebutuhan mitra, sesuai dengan prinsip koperasi. Para mitra memiliki hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan memengaruhi kebijakan platform. Ini membantu menciptakan iklim kerja yang lebih adil dan menghindari eksploitasi terhadap pekerja.

Ketiga, koperasi platform mendorong kolaborasi antar perusahaan dan mitra. Up And Go, misalnya, menyatukan beberapa koperasi untuk membentuk platform yang lebih dan mampu bersaing dengan perusahaan besar yang dimiliki oleh pemilik modal.

Peluang dan skema koperasi platform di Indonesia

Di Indonesia, koperasi sudah menjadi model bisnis yang dikenal sejak zaman kemerdekaan. Kuat didukung oleh wakil presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta, konsep koperasi tumbuh berkembang sebagai sistem ekonomi yang kerakyatan dan kekeluargaan dan diatur dalam UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasiaan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 127.846 unit koperasi pada 2021. Meski sempat tersendat pada 2018 - 2020, jumlah koperasi cenderung meningkat tiap tahunnya. Mulai dari usaha simpan pinjam, usaha tani, dan koperasi pegawai–tak sulit menemukan koperasi beroperasi di berbagai daerah dan instansi.

Semestinya, pengenalan model koperasi dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia karena dasar pemahaman yang telah mengakar.

Namun, sejauh pengamatan saya, inisiatif yang ada di Indonesia masih berada di level kajian dan pengembangan program-program inkubasi–pemberian pembinaan, pendampingan, dan pengembangan oleh inkubator wirausaha. Ini misalnya seperti yang dilakukan oleh Indonesia Consortium for Cooperatives Innovation dan InnoCircle Initiative.

Untuk bisa mulai menelurkan koperasi platform, para mitra bisa mengadopsi model yang sudah beroperasi di negara lain.

Misalnya, mengingat mayoritas pekerja platform di Indonesia banyak berpusat di sektor transportasi daring, mitra bisa memulai dengan meneladani Drivers.coop–koperasi platform yang juga berkembang di New York.

Melalui Drivers.coop, para pengemudi taksi daring atau ride-hailing bekerja sebagai anggota koperasi yang memiliki saham atau bagian dalam platform dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam menentukan kebijakan tarif.

Koperasi platform tersebut menerapkan proses ‘ko-remunerasi’ yang memastikan bahwa upah lebih tinggi diberikan pada para anggota platform sesuai dengan kontribusi mereka.

Apa tantangan koperasi platform?

Namun, implementasi koperasi platform di Indonesia menghadapi beberapa tantangan.

Pertama, meskipun koperasi telah dikenal lama, citra koperasi sering kali tercoreng dengan masalah tata kelola dan investasi bodong yang kerap terjadi. Meskipun sebenarnya masalah tersebut bukan terkait dengan model bisnisnya, hal ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan mitra potensial tentang koperasi platform.

Kedua, kesadaran tentang konsep platform koperasi masih kurang di Indonesia. Banyak mitra yang belum memahami manfaat dan potensi dari model bisnis ini. Pendidikan dan sosialisasi mengenai koperasi platform perlu ditingkatkan agar lebih banyak mitra yang tertarik untuk bergabung dan mendukung perkembangan model bisnis ini.

Ketiga, regulasi yang berpihak pada platform koperasi masih minim dan belum ada peraturan yang secara spesifik mengatur model bisnis ini.

Sejauh ini, misalnya, koperasi belum menjadi pilihan untuk mendirikan badan hukum usaha rintisan.

Jika tidak didukung dengan regulasi, koperasi platform akan sulit bersaing dengan platform-platform berbasis investasi kapital yang dengan modal lebih besar akan lebih mudah menguasai pasar.

Keempat, struktur permodalan bisnis rintisan di Indonesia masih mengandalkan venture capital alias bersumber dari investor kaya, perbankan atau lembaga keuangan lainnya yang menyuntikkan modal dalam jumlah besar.

Struktur permodalan yang bisa dipertimbangkan dengan steward-ownership. Model ini menekankan pada pemisahan pemodal dari keputusan organisasi dan penggunaan laba untuk tujuan yang sudah ditentukan, misalnya investasi dan pemeliharaan platform.

Koperasi platform: sebuah urgensi

Meski digandrungi dan dilihat sebagai pekerjaan masa depan, perkembangan model bisnis platform dan ekonomi gig yang pesat masih disertai segudang permasalahan. Ini misalnya terkait stabilitas bisnis dan kekosongan payung hukum hubungan kerja kemitraan yang membuat para pekerjanya minim perlindungan dan rentan dieksploitasi.

Keberadaan koperasi platform memiliki potensi besar sebagai alternatif penting dalam ekonomi digital Indonesia dan menjawab berbagai permasalahan sosial. Sebab, selayaknya koperasi pada umumnya, model ini menawarkan pendapatan yang lebih adil dengan dasar pembagian sisa hasil usaha (SHU) sesuai kontribusi tiap pekerja, pengambilan keputusan yang demokratis, dan kolaborasi yang memperkuat mitra.

Di negara yang telah lama mengakui koperasi sebagai bagian penting dalam perekonomian, adopsi model koperasi platform mestinya menjadi perkembangan yang alami.

Namun, untuk sepenuhnya merangkul konsep transformasi ini, kita juga harus mengatasi tantangan yang dihadapi koperasi dalam beberapa tahun terakhir. Ini termasuk membereskan citra negatif yang melekat dengan pengawasan dan pembinaan tata kelola koperasi yang mumpuni.

Tak hanya itu, transformasi juga membutuhkan peran pemerintah dalam menggodok kebijakan dan membantu menyiapkan ekosistem untuk struktur permodalan yang ramah bagi koperasi.

Dengan cara ini, ekonomi digital tak hanya berpeluang menyejahterakan masyarakat, tetapi juga membuka kesempatan untuk mendefinisikan kembali wacana seputar koperasi dan menekankan narasi yang berpusat pada solidaritas dan tindakan kolektif.


M. Sena Luphdika, praktisi koperasi dan inisiator Gapatma Demokrasi Ekonomi, berkontribusi dalam menuliskan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now