Menu Close

Rasisme dan masa sulit demokrasi Amerika Serikat pasca pemilihan presiden

Warga mengikuti aksi "Hitung Setiap Suara" sehari setelah pemilu di Kota New York, New York, Amerika Serikat.
eenah Moon/Reuters/Antara Foto

Joe Biden sementara unggul dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) lewat persaingan sengit.

Menyambut tanda-tanda kemenangannya, sehari setelah hari pemilihan, Biden didampingi calon wakil presiden Kamala Harris menyatakan bahwa “demokrasi adalah detak jantung bangsa ini”.

Tapi tak bisa diingkari, demokrasi di AS akan segera memasuki masa sulit yang panjang setelah pilpres 2020 ini.


Read more: Ketika hubungan AS-Cina semakin tegang: saatnya Indonesia dan negara-negara ASEAN cari mitra baru


Kemenangan Biden

Kemenangan Biden relatif tipis, dan belum mampu menghilangkan ketegangan dan ketidakpastian yang menggantung berat.

Saat tulisan ini diturunkan, Biden memperoleh suara pemilih 50,5%, sedangkan Trump 47,9%.

Sementara di Electoral College - yang menentukan kemenangan, Biden memperoleh 253 suara dan Trump 214 suara.

Setelah pemilihan pada Selasa waktu setempat, Rabu dini hari Donald Trump bahkan telah mendeklarasikan kemenangannya.

Sebelum itu, ketika ditanya apakah dia mau melakukan alih kekuasaan secara damai jika kalah, Trump menolak untuk menjawab.

Trump juga terus menebar keraguan soal keamanan dan legalitas suara yang dikirim lewat pos. Pandemi membuat jumlah warga AS yang memilih via pos melonjak.

Sejak awal November, toko-toko di sejumlah kota besar AS sudah memasang pelindung untuk mengantisipasi kerusuhan pasca pemilu.

Demonstran turun ke jalan-jalan, bahkan sempat ricuh. Sebagian pendukung Trump bahkan menuntut agar penghitungan suara dihentikan. Menunggu hasil akhir, kini situasi AS terasa amat panas.

Selain telah menuntut penghitungan ulang di sejumlah negara bagian, Trump kemungkinan besar akan segera mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung.

Meski ditentang habis-habisan dan dituduh tak etis, Trump dengan proses kilat telah berhasil menempatkan Amy Barret (hakim beraliran konservatif) sebagai anggota Mahkamah Agung AS untuk menggantikan Ruth Ginsberg (liberal) yang meninggal September lalu.

Selama berkampanye, berkali-kali Trump menyatakan bahwa ia tak mungkin kalah kecuali ada kecurangan.

Dengan pengangkatan Barret, kini Mahkamah Agung berkomposisi 6:3 berat ke konservatif yang sangat menguntungkan Trump jika gugatannya kelak masuk pengadilan.

Sebelumnya, sebagian survei, media arus utama dan pengamat politik memperkirakan Biden akan menang telak.

Kenapa? Empat tahun kepemimpinan Trump dianggap sebagai perkecualian AS: tidak normal, tidak waras, penuh ketidakpastian, tak peduli etika, bahkan brutal.

Dengan pengalaman era Trump itu, sebagian besar orang AS diasumsikan akan segera sadar dan menghendaki semua kembali normal, rasional, dan beradab.

Kenyataan bahwa Biden tidak menang telak membuktikan bahwa anggapan itu meleset.

Trump sama sekali bukan perkeculian. Ia adalah bagian nyata, bahkan sangat besar dan menentukan dalam masyarakat AS.

Trump bukanlah sebab, melainkan akibat dari krisis yang melanda AS.

Lalu bagaimana masa depan demokrasi liberal AS? Bahkan, bagaimana masa depan demokrasi di AS? Apa implikasi pilpres AS ini bagi wilayah-wilayah lain di dunia?


Read more: Kredibilitas Amerika di panggung dunia meredup akibat kisruh rasisme. Namun, aktivisme warga Amerika melawan rasisme menjadi inspirasi


Krisis dan rasisme

Partai Republik kini mengalami krisis fundamental. Fenomena membelotnya sejumlah sosok dan kelompok berpengaruh ke kubu Biden hanyalah gejala dari krisis yang lebih besar.

Kekalahan relatif tipis ini justru menyulitkan unsur-unsur partai Republik untuk kembali ‘normal’ setelah teracak-acak, terpecah-belah dan mengalami disorientasi akibat sepak terjang Trump.

Bukan cuma sulit untuk menemukan siapa yang bisa disalahkan, bahkan sulit bagi mereka untuk menyadari adanya kesalahan. Satu-satunya yang bisa membuat mereka bersatu adalah musuh bersama: kiri liberal!

Situasi lain tapi serupa juga dihadapi oleh Partai Demokrat. Biden terpilih mewakili Demokrat lewat proses berliku diantara 25 kandidat bukan karena dia ideal, tapi demi mengatasi perpecahan internal.

Mereka bisa bersatu demi menghadapi musuh bersama: ultra kanan konservatif.

Tapi setelah kemenangan ini, sangat mungkin kelompok kiri Demokrat kubu Bernie Sanders akan segera mendesakkan agenda dan konflik internal pun bisa kembali terbuka.

Perlu dicatat, karena tak punya kebijakan ekonomi yang kuat dan tak berkharisma, sebelum pandemi datang, Biden sebetulnya memiliki peluang kemenangan sangat kecil.

Selain itu, rendahnya kepercayaan publik akan menjadi tantangan pemerintahan Biden yang lebih serius.

Era post-truth dan komunikasi media sosial yang melahirkan Trump telah dimainkan sedemikian rupa sehingga di kalangan pendukung Trump kepercayaan terhadap berbagai otoritas merosot drastis.

Lebih dari 230.000 nyawa melayang gara-gara Trump dan pendukungnya tak mau peduli pada anjuran pakar kesehatan. Pemakaian masker dan pembatasan jarak bahkan sengaja digoreng sebagai isu politik selama kampanye.

Selain itu, kebanyakan pendukung Trump juga telah kehilangan kepercayaan pada media arus utama, universitas, elite pengusaha, Hollywood, elite partai dan otoritas lain yang berseberangan kepentingan.

Sebagai pihak yang kalah tipis, bisa diduga bagaimana sikap mereka terhadap pemerintahan Biden nanti.

Rasisme sistemik dengan wajah yang garang makin muncul demonstratif sejak musim kampanye. Ada lebih dari 180 kelompok paramiliter bersenjata sangat lengkap yang tersebar dimana-mana.

Selain kelompok milisi ultra-kanan yang telah diringkus karena ketahuan merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Gubernur Michigan, ada banyak kelompok serupa yang aktif melakukan latihan tempur untuk bersiap menghadapi perang sipil yang dipercaya bisa pecah setelah pilpres.

Dendam akibat serangkaian kerusuhan rasial di berbagai kota yang menyertai demonstrasi Black Lives Matter pada pertengahan tahun bisa kembali meletus sewaktu-waktu.

Naiknya Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama pada 2009 yang semula diharapkan menandai era pasca rasialisme, membawa perubahan, harapan dan persatuan, ternyata justru berakhir hampir persis sebaliknya.

Rasisme akibat ketakutan dan kemarahan kelompok kulit putih konservatif justru makin menggumpal, bahkan mengeras di bawah Obama.

Kekuatan itulah yang akhirnya mengirim Trump ke Gedung putih untuk menghabisi semua warisan Obama.

Pasca pilpres 2020, AS semakin terbelah dan dicekam amarah yang siap tumpah.

Tantangan demokrasi

Biden punya tantangan berat untuk membuktikan bahwa demokrasi adalah “detak jantung Amerika Serikat” dan bahwa ia adalah presiden setiap warga yang bertanggung jawab mempersatukan setiap elemen bangsa.

Selain problem rasisme dan rendahnya kepercayaan publik di atas, krisis akibat pandemi, dan terutama pemulihan kehidupan ekonomi yang terpuruk adalah tantangan yang paling berat.

Celakanya justru di situ kebijakan Biden tak terlihat kuat.

Dalam situasi begitu, bukan tidak mungkin kelak Trump akan terus aktif “mengganggu” sembari bersiap untuk maju lagi empat tahun mendatang.

Kekalahan Trump akan membuat rasisme kian keras. Jika tak dijinakkan, kekalahan tipis Trump ini bisa kian hebat mengobarkan ketakutan dan kebencian baik di kalangan konservatif maupun liberal.

Dengan kekecewaan yang berkobar dan kesadaran bahwa kekuatan mereka besar, apalagi dengan pemimpin peradang yang siap menerabas segala aturan seperti Trump, mereka bisa melabrak apa saja.

Perasaan dicurangi bisa dijadikan sebagai alasan untuk ‘menghalalkan’ segala cara. Bahkan tanpa dicurangi pun selama ini Trump sudah melakukannya.

Prinsip Trump adalah “yang penting menang”. Dengan kemenangan di tangan, semua akan bisa dijustifikasi.

Dengan pasang badan demi kepentingan kulit putih konservatif yang merasa terancam, ia punya pendukung yang loyal.

Trumpisme dan dampak global

Trumpisme memperlihatkan betapa etika dan moralitas bisa diabaikan dalam politik.

Daftar dosa-dosa Trump tak kurang panjang sejak sebelum menjabat.

Meski telah ada upaya memakzulan Trump dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, meski kecerobohannya mengakibatkan angka kematian pandemi begitu tinggi - termasuk dirinya juga terkena, para pendukungnya tak peduli.

Sederet aib besar lain yang diungkap oleh anggota keluarga dan mantan orang-orang kepercayaan Trump di detik-detik terakhir menjelang pemilu justru membuat Trump makin dipuja.

Dengan “menjadi korban”, Trump mampu mengidentifikasi diri dengan para pendukungnya, kaum kulit putih konservatif yang memang mengidentifikasi diri sebagai “korban”.

Trump berhasil mengendalikan tombol identitas itu dan memainkan emosi kolektif untuk menggalang dukungan. Kaum konservatif yang merasa terancam itu membutuhkan sosok pemimpin yang blak-blakan dan berani pasang badan demi membela kepentingan kelompok mereka.

Yang tak kalah mencemaskan adalah dampak rasisme dan politik identitas ini di tingkat global.

Belajar dari Trump, kelompok ultra-kanan di Eropa bukan tidak mungkin akan ‘melanjutkan’ apa yang sudah ‘dicapai’ Trump dan para pendukungnya.

Penguasa otoriter di Cina, Rusia dan Korea Utara akan menepuk dada. Sambil mencemooh demokrasi AS yang kini compang-camping, mereka punya alasan untuk mengklaim bahwa sistem mereka lebih baik.

Para diktator di negara-negara ketiga juga akan punya alasan lebih kuat untuk meremehkan demokrasi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now