Menu Close
Markus Spiske/Pexels, CC BY

‘Teman belajar’ yang memunculkan ‘pertanyaan serius’: bagaimana mahasiswa sikapi AI pada semester pertamanya pakai ChatGPT

Saat ChatGPT mulai menuai sorotan pada November tahun lalu, muncul spekulasi yang gencar terkait dampak teknologi ini bagi pengajaran dan pembelajaran di perguruan tinggi.

Ada kepanikan terkait dampak ChatGPT bagi praktik kecurangan. Ada pula antusiasme terkait potensinya dalam membantu mahasiswa dalam belajar dan dosen dalam mengajar.

Namun, bagaimana realitasnya di lapangan seiring universitas kembali menjalankan pembelajaran?

Studi terbaru kami mengamati bagaimana mahasiswa dan akademisi di Australia – tempat saya mengajar – menyikapi ChatGPT pada semester pertama mereka setelah keluarnya teknologi baru ini.

Yang terkini terkait ChatGPT

Ketika ChatGPT rilis pada akhir 2022, para akademisi cukup “tercengang” setelah menyadari betapa mudahnya teknologi ini bisa menulis esai tingkat universitas dan lolos sejumlah tes. Hasil garapan tersebut juga sebagian besar sulit dibedakan dengan karya mahasiswa sungguhan.

Hal ini langsung memicu kekhawatiran terkait potensi kecurangan dan isu integritas akademik, meskipun beberapa orang berharap bahwa ChatGPT maupun teknologi serupa lainnya bisa memperbaiki kualitas pengajaran, pembelajaran, dan asesmen. Para ahli beranggapan bahwa AI generatif bisa mendukung pembelajaran yang lebih mendalam bagi murid serta membantu dosen menghemat waktu dalam menyiapkan perkuliahan.

Di tengah perdebatan ini, ada seruan untuk lebih memperhatikan perspektif para mahasiswa dan murid. Pada akhirnya, merekalah yang ada di tengah-tengah perubahan ini.

Penelitian kami

Antara akhir April dan Mei akhir tahun 2023, kami bertanya kepada akademisi dan mahasiswa di Australia lewat survei daring.

Sebanyak 110 responden (78 mahasiswa dan 32 akademisi) merepresentasikan seluruh negara bagian dan teritori di Australia, serta beragam program studi dan bidang ilmu.

Artikel ini hanya membahas terkait hasil dari para mahasiswa.


Read more: We need to change the way universities assess students, starting with these 3 things


Pada titik ini, banyak mahasiswa TIDAK memakai ChatGPT

Pada tahapan awal ini, hampir setengah dari responden mahasiswa belum mencoba atau memakai AI generatif.

Dalam kelompok ini, sebanyak 85% tidak berniat memakai teknologi ini selama kuliah tahun ini. Survei kami menemukan bahwa mahasiswa di Australia bisa jadi khawatir bahwa pemakaiannya akan dianggap sebagai kecurangan.

Kelompok mahasiswa yang tidak memakai AI ini secara kuat menghubungkan penggunaan teknologi generatif ini sebagai kecurangan dalam proses asesmen (85%). Sentimen ini jauh lebih banyak ketimbang mereka yang pernah memakai AI (41%).

Dalam respons tertulis mereka, beberapa mahasiswa juga menyiratkan bahwa mereka menghindari penggunaannya karena terasa kurang etis. Salah satu mahasiswa mengatakan:

Although current AI is harmless, I think there are serious questions about whether future advancements will be safe for humanity.

(Meski AI saat ini tidak berdampak buruk, menurut saya ada pertanyaan-pertanyaan serius terkait apakah perkembangannya di masa depan akan aman untuk umat manusia.)

Para mahasiswa juga menyebutkan kekhawatiran lain, seperti masalah informasi yang kurang bisa diandalkan:

Information given may be biased. [It’s] very difficult to fact check – as generative AI can often not properly say where it got its information from. For similar reasons, plagiarism and breaches of copyright.

(Informasi yang diberikan bisa jadi bias. Sangat sulit melakukan cek fakta – mengingat AI generatif tidak bisa benar-benar menjelaskan dari mana ia mengambil informasi tersebut. Untuk alasan yang serupa, ada juga isu plagiarisme dan pelanggaran hak cipta.)

‘Sangat membantu’

Para mahasiswa yang memakai AI generatif menceritakannya sebagai semacam “titik awal pencarian”, untuk mengeksplor ide-ide, serta memahami lebih dalam terkait suatu topik atau menulis suatu struktur esai.

I use it to summarise lengthy articles […] I use it for feedback and suggestions for improvement.

(Saya memakainya untuk merangkum artikel-artikel yang panjang […] Saya memakainya sebagai proses timbal balik dan memperoleh rekomendasi untuk memperbaiki diri.)

Mereka menggarisbawahi sifat interaktif dari program semacam ChatGPT. Kata mereka, rasanya seperti punya “teman” belajar. Seorang mahasiswa mengatakan:

I feel like it’s super useful (especially with COVID impairing face-to-face learning, peer study groups etc). It’s a nice study partner or support.

(Saya merasa teknologi ini sangat membantu (terutama dengan COVID yang menghambat pembelajaran tatap muka, kelompok belajar mahasiswa, dll). Ia menjadi teman atau bentuk dukungan belajar yang baik.

Sementara, mahasiswa lain mengatakan:

It leads to a more efficient use of time and energy. It makes me feel less stressed and anxious about assessments, as I almost feel as though I have a study buddy or friends to help me through.

(Ia membuat penggunaan waktu dan energi menjadi lebih efisien. Rasanya, stres dan kecemasan saya terkait asesmen menjadi berkurang, karena saya hampir merasa seakan punya teman belajar untuk melewati itu semua.)

Dalam hal ini, kita bisa melihat AI generatif digunakan sebagai carai untuk mengelola stres. Ini penting, mengingat riset sebelumnya mengatakan bahwa peningkatan stres bisa mendorong hasrat mahasiswa untuk melakukan kecurangan.

Para mahasiswa juga bingung

Para mahasiswa melaporkan kebingungan terkait bagaimana teknologi ini bisa dan “sebaiknya” digunakan.

Misalnya, mereka cukup terbelah soal apakah universitas sebaiknya mengizinkan penggunaan AI generatif dalam proses asesmen. Sebanyak 46% setuju, 36% tidak setuju, dan 16% tidak yakin.

Hampir seperempat mahasiswa melaporkan bahwa mereka kurang yakin terkait penggunaan AI generatif dalam konteks perkuliahan secara umum, dan hanya ada 8% yang merasa sangat positif terkait teknologi ini.

Kebingungan ini tidak mengejutkan – banyak universitas belum menyediakan panduan yang jelas terkait ini. Kurang dari sepertiga dari 500 unversitas top dunia memberikan jawaban yang jelas (baik positif ataupun negatif) terkait kehadiran ChatGPT ketika kebijakan mereka direviu pada Mei tahun ini.

Lalu, apa yang akan terjadi sekarang?

Seiring AI generatif terus berkembang, teknologi ini menawarkan peluang untuk mengeksplor batasan-batasan baru dalam pendidikan tinggi. Indikasi awalnya adalah bahwa ia tak sepenuhnya menakutkan atau buruk.

Namun, riset kami menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa bisa jadi tak ingin memakai teknologi ini jika tidak ada kejelasan mengenai cara yang “benar” dalam memakainya, dan akses maupun penggunaannya adil dan etis.

Seiring kita melangkah ke depan, suara dari para pekerja juga akan menjadi penting seiring para lulusan universitas memasuki lapangan kerja di era AI. Namun, kita juga perlu untuk terus mendengarkan perspektif mahasiswa.

Studi kami akan terus memantau bagaimana mahasiswa dan akademisi memakai AI generatif memasuki semester selanjutnya.

Kami mengundang para mahasiswa di Australia untuk menyumbangkan perspektif. Survei kami bersifat anonim dan bisa diakses di sini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now