Menu Close

Tiga cara pemerintah dapat memperbaiki bahasa dan memperkuat pesan terkait COVID-19

Menko Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, Kepala BNPB Doni Monardo, dan Wakil Menteri BUMN Budi G Sadikin memberikan keterangan kepada wartawan tentang perkembangan penanganan COVID-19 di Jakarta
Aditya Pradana/Antara Foto

Bulan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengungkapkan buruknya cara komunikasi yang dirinya dan para menteri lakukan, terutama terkait penanganan wabah COVID-19.

Banyak pakar dan media - termasuk media-media asing - telah berulang kali mengingatkan soal buruknya komunikasi pemerintah.

April lalu, Suzanne Wertheim, pakar linguistik antropologi asal Amerika Serikat (AS), menjelaskan cara-cara yang bisa dilakukan untuk memperkuat pesan terkait tanggung jawab individu, tanggung jawab komunitas, dan pencegahan bahaya.

Ia melihat bahasa memiliki posisi yang sangat penting - bahkan kunci— sebagai wahana untuk memerangi pandemi korona.

Wertheim menilai bahwa pesan-pesan terkait virus yang sangat berbahaya dengan proses penularan yang sangat cepat tidak tersampaikan pada khalayak.

Menurut dia, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki bentuk-bentuk pesan ini.


Read more: Analisis: Pemerintah masih bisa perbaiki komunikasi krisis pandemi yang sejauh ini gagal


1. Mempertegas ungkapan kasus

Dalam setiap pengumuman resmi mengenai jumlah korban yang positif terkena virus korona, frasa “kasus yang diketahui atau kasus yang terungkap” penting untuk digunakan.

Frasa ini jauh lebih jelas dibandingkan istilah “kasus” saja.

Suzanne mengatakan sekadar menyebut “kasus” semata mereduksi kuantitas kasus sehingga yang dikhawatirkan adalah kesan bahwa virus ini tidak terlalu bahaya.

Dalam konteks Indonesia, penggunaan frasa “kasus” semata ini masih sering kita dengar, seperti misalnya oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dalam menjelaskan persebaran wabah.


Read more: Akademisi: pemerintah masih gunakan bahasa langit dalam komunikasi COVID-19


2. Memperjelas pelaku penyebaran

Banyak informasi serta tulisan yang beredar terkait virus cenderung mengaburkan subjek penyebaran.

Kalimat seperti “virus menyebar dengan sangat cepat” mudah kita jumpai. Misalnya seperti yang dikatakan oleh Raisa Broto Asmoro, anggota tim komunikasi Gugur Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, “virus ini menyebar sangat cepat karena kita tidak kompak seperti kata WHO”.

Media-media nasional juga kerap menggunakan kalimat sejenis, misalnya dalam judul berita “SARS-Cov 2 Menyebar Sangat Cepat”.

Menurut mazhab linguistik kritis - pendekatan studi bahasa yang menekankan hubungan erat antara struktur bahasa dan struktur sosial - kalimat semacam ini mengerdilkan arti.

Virus penyebab COVID-19 tidak menyebar secara mandiri. Ada medium dan ada subjek yang menjadi perantara aktif sehingga mempercepat penyebaran.

Subjek dalam konteks ini tidak boleh dihilangkan. Manusialah yang menyebarkan virus.

Pesan bahwa manusia memiliki andil yang sangat besar salam menyebarkan virus ini harus tersampaikan dengan baik kepada khalayak.

Kalimat yang cenderung mengaburkan peran manusia dalam mempercepat proses penularan virus ini harus sebisa mungkin dihindari.

Menurut saya, kalimat yang cenderung mengaburkan subjek (manusia) dalam konteks ini juga mengaburkan tanggung jawab sosial yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Kebijakan pembatasan sosial yang relatif berjalan tidak mulus, misalnya, salah satunya akibat pengaruh krisis tanggung jawab sosial ini.


Read more: Analisis: pentingnya literasi digital yang kritis di tengah gempuran misinformasi pandemi


3. Memperbanyak kata “kita”

Dalam perang melawan pandemi ini, kejiwaan menjadi persoalan yang sangat penting.

Cara pandang dari perspektif “aku” bagi yang sehat dan “mereka” bagi yang terdampak harus diubah.

Informasi dan berita-berita dengan pilihan diksi “mereka yang terinfeksi virus” harus dihindari.

Sebab, cara pandang tersebut cenderung menggali jurang pemisah antara yang “sehat” dengan yang “sakit”.

Padahal, dalam konteks memerangi pandemi ini, semua manusia adalah “kita”. Sementara “mereka”, dalam arti musuh, adalah virus.

Mentalitas kelompok ini penting untuk ditekankan. Sering kali kita abai terhadap hal-hal yang dianggap sebagai sebuah kelaziman, namun jika ditelaah lebih jauh justru mengandung kejanggalan dan kadar bahaya yang tidak ringan.


Read more: Analisis: penyebab masyarakat tidak patuh pada protokol COVID-19


Problem komunikasi

Mayoritas masyarakat adalah awam dan mengandalkan informasi yang silih berganti datang.

Selain televisi, kini hadir media sosial yang luar biasa cepat dalam mentransmisikan informasi.

Artinya, berita-berita terkait wabah COVID-19 yang dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat Indonesia bersumber pada informasi-informasi yang berseliweran di dunia maya.

Jokowi mengandalkan media sosial dalam mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menanggulangi wabah ini, namun hanya setelah wabah telah terlanjur menyebar luas.

Bahkan, tidak lama setelah ia mengumumkan kasus COVID-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020, Jokowi justru mengatakan bahwa masyarakat “tidak perlu takut secara berlebihan” lewat akun Instagram.

Sejak akhir Maret, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berinisiatif mengirimkan pesan pendek yang disebarkan ke seluruh nomor ponsel penduduk Indonesia.

Menurut saya inisiatif itu baik dan positif karena bisa menjadi pengingat yang sangat efektif.

Hanya saja, dalam pesan-pesan tersebut BNPB menggunakan istilah “terkonfirmasi” untuk menyebut orang yang positif terinfeksi COVID-19.

Ini tentu saja — meminjam istilah Wertheim - mereduksi dan mengaburkan pesan akan bahaya virus dan penyakit COVID-19.

Melihat manajemen komunikasi wabah yang masih centang-perenang, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 memiliki pekerjaan rumah mendasar yang harus diselesaikan.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now