Menu Close

Visi Misi Pemilu 2024: Menakar janji industrialisasi dan hilirisasi Paslon Capres-Cawapres

Industrialisasi dan hilirisasi
Pekerja tengah memproses produksi aksesoris otomotif di sebuah panbrik di Jakarta. BK Awangga/shutterstock

Penurunan peran sektor industri manufaktur dalam perekonomian Indonesia terus berlanjut. Strategi pembangunan industri yang digalakkan oleh pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo sepanjang dua periode kepemimpinannya, seperti penyederhanaan izin usaha dan investasi hingga penerapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), pun tampak tidak mampu meredam laju penurunan tersebut lebih jauh.

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, penting bagi publik untuk mengetahui bagaimana rencana pemerintah berikutnya dalam memperbaiki kinerja sektor industri manufaktur. Sebab, saat ini industri manufaktur masih memberikan nilai tambah per pekerja yang paling tinggi di Indonesia.

Gambar 1: Nilai tambah per pekerja berdasarkan 3 sektor. World Development Indicators, The World Bank

Apakah program industrialisasi yang dijanjikan oleh para pasangan calon (paslon) akan efektif dalam meningkatkan kembali peran sektor manufaktur?

Ringkasan program industrialisasi para paslon

Meskipun fokusnya terlihat berbeda, ketiga calon presiden memiliki kesamaan dalam hal gagasan seputar penciptaan lapangan kerja, yaitu industrialisasi melalui hilirisasi sumber daya alam (SDA).

Paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) memandang hilirisasi perlu mengantisipasi terkurasnya SDA tidak terbarukan, seperti bahan bakar fosil dan produk tambang. Solusi yang ditawarkan adalah pembentukan Dana Abadi SDA untuk membuka sektor ekonomi baru. TKDN–merujuk pada penggunaan bahan baku dari dalam negeri–akan ditingkatkan, tetapi pelaksanaannya harus rasional. AMIN juga mendorong keterhubungan dengan rantai pasok global, offshoring (relokasi modal dan aktivitas ke negara lain) industri makanan dan minuman, dan perjanjian perdagangan bebas.

Sementara, Ganjar Pranowo-Mahfud M.D. (GaMa) menamakan program hilirisasi mereka sebagai “Industrialisasi 5.0”, yang sepertinya akan difokuskan ke pengembangan kawasan ekonomi khusus.

Sayangnya dokumen visi-misi GaMa kurang jelas mendefinisikan apa itu Industrialisasi 5.0 ini dan kaitannya dengan tren global Industri 4.0 yang berfokus kepada otomatisasi dan kecerdasan buatan. Kebijakan TKDN yang disebutkan sebagai fondasi hilirisasi pun tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut.

Pasangan GaMa menyebutkan ingin meningkatkan daya saing di pasar global, namun tak ada penjelasan bagaimana kebijakan ini akan dijalankan.

Dibandingkan pasangan lain, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (PaGi) adalah yang paling banyak menyebutkan kata “hilirisasi” dalam programnya. Titik beratnya terlihat di hilirisasi mineral, meskipun sektor pertanian dan kelautan juga disinggung. PaGi tampaknya mengarahkan kebijakan TKDN untuk mendorong hilirisasi komoditas.

Pasangan PaGi kelihatannya lebih mengutamakan pengendalian rantai pasok melalui pengawasan ekspor-impor (neraca komoditas) dan kewajiban pengolahan bahan mentah di dalam negeri. Sayangnya, tidak terlihat arahan yang jelas akan dikemanakan semua hasil industri pengolahan dalam negeri ini.

AMIN GaMa PaGi
Mendorong sektor baru Industrialisasi 5.0 Hilirisasi mineral
Dana abadi SDA Kawasan Ekonomi Khusus Mewajibkan pengolahan di dalam negeri
TKDN ditingkatkan secara rasional TKDN sebagai fondasi hilirisasi TKDN untuk hilirisasi komoditas
Rantai Pasok Global Meningkatkan daya saing global Pengawasan ekspor impor
Mendorong perjanjian perdagangan - -
offshoring industri makanan - -

Sekilas, program yang diusung para paslon nampak melanjutkan program industrialisasi pemerintah saat ini, yakni strategi klasik substitusi impor (import substitution industrialization/ISI). Dalam strategi ini, proses industrialisasi distimulasi oleh TKDN yang diterapkan bersamaan dengan larangan ekspor bahan mentah.

Namun, tanpa perencanaan yang baik, kebijakan seperti ini dapat berdampak buruk. Para paslon harus yakin bahwa kebijakan industrial memiliki lebih banyak manfaat daripada mudharat-nya.

Tentang kebijakan industrial

Kebijakan industrial kerap didefinisikan sebagai kebijakan pemerintah yang menargetkan pertumbuhan industri tertentu. Bentuknya bisa berupa kebijakan fiskal (berkaitan dengan pemasukan pemerintah) seperti subsidi biodiesel, maupun nonfiskal seperti TKDN smartphone dan larangan ekspor nikel. Kebijakan industrial juga dapat bersifat implisit, seperti kebijakan diskon pajak untuk riset.

Kebijakan industrial, seperti halnya kebijakan lain pada umumnya, tidaklah gratis. Pembebasan pajak dan subsidi jelas menekan APBN. Kebijakan nonfiskal pun, meski terkesan gratis, sebenarnya dibayar oleh industri lain, misalnya TKDN untuk pengadaan kereta listrik yang ongkosnya dibebankan pada pengguna layanan kereta rel listrik. Oleh karena itu, para paslon perlu memiliki analisis cost-benefit dan penggunaan indikator yang baik untuk melakukan evaluasi.

Dari ketiga pasangan calon ini, hanya AMIN yang memberikan target numerik terhadap sumbangsih sektor manufaktur terhadap PDB, yaitu meningkat dari yang sekarang 18.3% menjadi 22-23%.

Namun, sumbangsih sektor manufaktur terhadap PDB juga bukan indikator yang ideal. Pertama, fluktuasi indikator ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar kuasa pemerintah, seperti performa industri non-manufaktur dan kondisi ekonomi global. Kedua, para paslon memerlukan indikator yang lebih eksplisit dan sudah cukup ajeg digunakan untuk menakar keberhasilan kebijakan industrialisasi.

Contoh satu indikator: RCA

Umumnya, kebijakan industrial yang akan dilakukan para paslon memiliki tujuan utama berupa pertumbuhan industri yang memiliki daya saing.

Para ‘macan asia’ seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina juga dulunya menggunakan berbagai macam kebijakan industrial. Namun, negara-negara tersebut menggunakan pasar global untuk mendisiplinkan para penerima insentif. Insentif hanya diteruskan bagi perusahaan yang mampu bersaing di pasar global, dibuktikan dengan ekspor.

Salah satu indikator yang dapat mengukur ini adalah indeks keunggulan komparatif (revealed comparative advantage/RCA).

Indeks RCA menghitung seberapa besar ekspor suatu negara dibandingkan dengan tren global. Indeks lebih dari 1 untuk suatu produk menandakan bahwa negara tersebut kompetitif di pasar global untuk produk tersebut. Gambar 2 dan gambar 3 menunjukkan indeks RCA untuk pasar smartphone dan otomotif, dua industri yang diintervensi pemerintah dengan TKDN dan kebijakan lainnya.

Catatan: Indeks RCA dihitung berdasarkan rata-rata 2017-2021 untuk produk-produk yang bernilai tinggi di pasar global pada kategori kendaraan. diolah penulis berdasarkan data yang diakses pada database WITS

Pada gambar tersebut terlihat bahwa indeks RCA Indonesia untuk ekspor komponen telepon genggam dan komponen kendaraan masih jauh di bawah 1. Selain itu, ekspor produk jadi telepon genggam serta kendaraan juga kebanyakan belum memiliki daya saing di pasar global.

Meski kedua industri ini mendapat banyak intervensi dari pemerintah, indeks RCA mengindikasikan bahwa kebijakan industrial yang ada saat ini belum berhasil meningkatkan daya saing dua industri yang ditarget pemerintah.

Pasar global berfungsi tidak hanya untuk meningkatkan skala ekonomi namun juga mendisiplinkan pengusaha domestik. Studi menunjukkan bahwa kesuksesan negara-negara Asia Timur (East Asian Miracle), termasuk Indonesia, pada periode 1965-1990 dalam melakukan transformasi ekonomi dan pembangunan bersumber dari ekspansi ekspor di sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif di pasar global (export-led industrialization). Dengan berkompetisi di pasar global, daya saing produk industri manufaktur Indonesia meningkat dan otomatis porsi sektor manufaktur dalam perekonomian pun membesar.

Sebaliknya, tanpa mengakses pasar global, sektor usaha terbatas hanya memasok pasar domestik akibat minimnya daya saing ekspor. Pada akhirnya, kebijakan substitusi impor yang berorientasi pasar dalam negeri tidak cukup efektif mendorong peforma industri manufaktur ke depannya. Tanpa disiplin pasar, pengusaha malah memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah tanpa berusaha meningkatkan daya saing.

Dengan demikian perlu bagi pemerintah ke depan untuk menggunakan alternatif indikator kesuksesan industrialisasi yang berbasis pasar global untuk mendorong pembangunan industri manufaktur yang lebih efektif.

Masa depan kebijakan industrial

Siapapun pemenang Pemilu Presiden 2024, kebijakan industri melalui intervensi pemerintah akan tetap dilakukan. Kebijakan yang lebih inward-looking (melihat ke dalam) seperti TKDN juga masih akan memiliki porsi yang sangat penting. Pertumbuhan industri dalam negeri cukup esensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Penerapan TKDN yang ketat berpotensi mengurangi daya saing ekspor dan memperlambat proses industrialisasi itu sendiri.

Para paslon perlu memahami tren kebijakan industrial saat ini yang semakin kompleks–termasuk mengapa kebijakan industrial di Indonesia acapkali problematik, bagaimana mengukur keberhasilannya, dan pentingnya menuntut transparansi dari penikmat insentif.

Sektor manufaktur dan ekspor mineral masih pegang peranan besar dalam perekonomian dan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Penting untuk menyimak rencana kebijakan industri para paslon untuk mengetahui arah ekonomi ke depannya. Di masa kampanye dan debat nanti, publik perlu menggali lebih lanjut janji-janji yang diberikan oleh para paslon terkait industrialisasi.

Harapannya, Pemilu Presiden 2024 dapat menghadirkan kontestasi ide-ide yang lebih efektif dalam mendorong transformasi ekonomi Indonesia berbasis industri manufaktur.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now