Menu Close
Calon presiden Prabowo Subianto berjoget saat hadir dalam acara pemantauan hasil hitung cepat di Istora Senayan, Jakarta, Rabu, 14 Februari 2024. Galih Pradipta/Antara Foto

Jalan panjang Prabowo menuju kekuasaan: dari citra pelanggar HAM hingga jadi anak emas Jokowi

Rakyat Indonesia kini bersiap menghadapi pergantian rezim. Presiden Joko “Jokowi” Widodo akan melepaskan jabatan yang sudah diembannya selama satu dekade pada Oktober 2024 ini. Hampir bisa dipastikan, penggantinya adalah mantan jenderal Prabowo Subianto, yang kini masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Seluruh lembaga survei yang menyelenggarakan hitung cepat (quick count) dengan capaian suara masuk mencapai 98%, menunjukkan bahwa Prabowo memenangkan hasil hitung cepat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sebesar lebih dari 58%, cukup jauh mengungguli Anies Baswedan (25%) dan Ganjar Pranowo (16%).

Menurut Yohanes Sulaiman, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani, perjalanan Prabowo menuju kursi RI 1 tidak bisa disebut instan, alih-alih gampang. Empat kali mengikuti kontestasi pemilihan umum (pemilu), tiga kali gagal, Prabowo kini menang telak dari dua pesaingnya. Ia tidak hanya diusung oleh koalisi besar, tetapi juga, yang diyakini menjadi senjata ampuhnya, didampingi oleh putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

Kemenangan Prabowo tidak lantas membuat sosoknya lepas dari bayang-bayang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Catatan HAM-nya abadi, korban dan keluarganya tetap belum mendapat keadilan, meski tampaknya banyak masyarakat mulai “memaafkan” Prabowo.

Yohanes mengatakan bahwa tingginya dukungan publik yang diterima Prabowo merupakan efek dari sosok Jokowi di belakangnya. Jokowi menjadi presiden dua periode yang selalu mendapatkan tingkat kepuasan publik yang sangat tinggi, mencapai 80%.

Publik kini menunggu, akan jadi pemimpin seperti Prabowo nanti dan risiko apa yang dihadapi Indonesia di bawah kepemimpinannya?

Pilpres keempat bagi Prabowo

Prabowo pertama kali mengepakkan sayap di kontestasi elektoral menjelang tahun politik 2004. Saat itu ia merupakan kader Partai Golkar dan mengikuti konvensi capres di internal partai. Namun, ia kalah dari Wiranto, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh yang sama-sama mengikuti konvensi capres untuk dicalonkan oleh Golkar.

Calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pidato kemenangan di Istora Senayan, Jakarta, Rabu 14 Februari 2024. Dhemas Reviyanto/Antara Foto

Tahun 2008, atau menjelang tahun Pemilu 2009, Prabowo mendirikan Partai Gerindra. Gerindra kemudian berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada Pemilu 2009, dengan Prabowo maju sebagai pasangan cawapres dari Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P. Pasangan tersebut kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Pada Pilpres 2014, Prabowo kembali mencalonkan diri, kali ini sebagai capres dan Hatta Rajasa sebagai cawapresnya. Selain diusung oleh Gerindra, ia juga didukung oleh Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Namun Prabowo kalah oleh Jokowi yang saat itu maju bersama Jusuf Kalla.

Pada Pilpres 2019, Prabowo maju lagi sebagai capres, masih melawan Jokowi. Prabowo berpasangan dengan Sandiaga Uno, sementara Jokowi menggandeng ulama besar Ma'ruf Amin. Lagi-lagi Prabowo kalah.

Ambisi Prabowo untuk mencapai kursi RI 1 tidak padam. Pada Pilpres 2024 ini, Prabowo kembali maju, menjadi capres unggulan berdasarkan survei elektabilitas oleh deretan lembaga survei. Ia menggandeng putra presiden, yang masih berusia 36 tahun, guna menggerek popularitasnya di hadapan pemilih muda yang jumlahnya mendominasi hampir 60% dari total pemilih nasional.

Dulu lawan, kini kawan

Dua kali menjadi rival, kini Prabowo berada satu gerbong dengan Jokowi.

Tak lama setelah Jokowi dilantik untuk periode keduanya, Prabowo menerima tawaran Jokowi menjadi Menteri Pertahanan, yang otomatis membawa Gerindra pindah ke gerbong koalisi pemerintah, meskipun tidak ada sikap resmi dari Gerindra sendiri.

Presiden Joko Muhammad Adimaja/Antara Foto

Dalam Pilpres kali ini, pasangan Prabowo-Gibran diyakini menjadi paslon yang didukung istana dan akan melanjutkan program-program Jokowi. Apalagi pasangan tersebut mengusung narasi keberlanjutan, yang secara tidak langsung mengindikasikan bahwa mereka akan jadi “penerus Jokowi”.

Sebelumnya, masyarakat sempat mengira bahwa Jokowi akan berada di pihak capres Ganjar dan pasangannya, Mahfud MD, karena Jokowi dan Ganjar sama-sama kader PDI-P.

Terbukti, bayang-bayang Jokowi di koalisi Prabowo-Gibran memberikan efek elektoral positif yang signifikan terhadap perolehan suara pasangan tersebut.

Intervensi konstitusi dan konflik kepentingan

Proses penunjukkan Gibran sebagai cawapres menuai kontroversi besar hingga memicu amarah publik. Jokowi diyakini mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) melalui adik iparnya, Hakim MK Anwar Usman, untuk memutus perkara batas usia capres dalam UU Pemilu guna membuka ruang bagi Gibran untuk maju.

Selain Gibran, anak bungsu Jokowi pun kini berpolitik. Kaesang Pangarep diberikan kursi ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya dalam hitungan hari sejak ia terjun ke dunia politik, tanpa melewati proses kaderisasi partai.

Menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang juga pendatang baru di politik, pun berhasil terpilih menjadi Walikota Medan pada Pilkada 2020, bahkan ia menang dengan mudah.

Menurut Aniello Iannone, dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Universitas Diponegoro, fenomena dinasti politik ini menciptakan ketidaksetaraan dalam proses demokrasi dan meningkatkan risiko lahirnya kebijakan yang tidak etis, dan pada akhirnya mengikis kepercayaan publik terhadap integritas sistem politik Indonesia.

Hal yang disayangkan adalah, kata Aniello, Prabowo justru menjustifikasi praktik dinasti politik tersebut, dengan mengutarakan bahwa keberadaan dinasti politik merupakan elemen yang konstan dalam proses politik Indonesia. Ia secara tidak langsung membenarkan praktik ketidaksetaraan dalam demokrasi.

Prabowo, yang selama dua periode pemilu menjadi rival dan antitesis Jokowi, kini justru turut “membantu” Jokowi membangun dinasti politik. Aniello menambahkan bahwa banyaknya partai politik yang kini berada di belakang Prabowo juga mencerminkan kentalnya oligarki.

Dosa HAM masa lalu

Masa lalu Prabowo yang pasang-surut telah banyak dibahas. Ia merupakan mantan menantu pemimpin otoriter Indonesia, Suharto, dan kerap disorot perihal keterlibatannya dalam penculikan dan penghilangan paksa 13 aktivis prodemokrasi tahun 1998, menjelang berakhirnya rezim Suharto.

Sejumlah aktivis HAM mengangkat kartu kuning saat aksi Kamisan ke-805 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 15 Februari 2024. Erlangga Bregas Prakoso/Antara Foto

Saat itu, Prabowo adalah Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan yang diduga diperintah oleh Prabowo untuk melakukan penculikan tersebut. Bahkan, beberapa mantan anggota Tim Mawar, pasukan elite yang diduga merancang operasi penculikan tersebut, masuk ke dalam tim kampanye Prabowo-Gibran.

Dio Ashar Wicaksana, mahasiswa PhD bidang Regulasi dan Tata Kelola Pemerintahan di Australian National University, menjelaskan bahwa Prabowo dalam dokumen visi misinya bahkan tidak menyinggung soal pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia memang menjanjikan komitmen untuk melindungi HAM seluruh warga negara, tapi retorika semacam ini selalu disampaikan oleh semua para capres pascareformasi, dan realisasinya selalu sama: tidak ada tindak lanjut sampai tuntas.

Selain makin pupusnya harapan akan penyelesaian HAM masa lalu, rekam jejak Prabowo dan pemerintahan Jokowi dalam hal kebebasan sipil juga cukup mengkhawatirkan. Dio mengatakan bahwa salah satu yang jadi akar masalah adalah Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang seringkali jadi ancaman kriminalisasi.

Kita masih menerka-nerka bagaimana nanti sikap Prabowo ketika menanggapi kritik dan apakah mereka akan bisa menghimbau para pendukungnya agar tidak mudah melaporkan individu lain dengan menggunakan pasal UU ITE. Lebih jauh, kata Dio, publik menunggu apakah Prabowo mampu menghapus seluruh pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE.

Sementara itu, Masitoh Nur Rohma, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, menekankan adanya kekhawatiran bahwa kebebasan sipil di Indonesia akan semakin ditekan di bawah pemerintahan Prabowo.

Pada periode kepemimpinan Jokowi saja kebebasan sipil–termasuk kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi–menjadi sesuatu yang mahal dan “berbahaya”, ditandai dengan banyak peristiwa kriminalisasi aktivis. Salah satu contohnya adalah kriminalisasi aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia, oleh petinggi negara.

Prabowo, yang akan memerintah bersama anak Jokowi, sangat mungkin tidak akan mengubah banyak hal mengenai perlindungan kebebasan sipil. Bahkan bisa jadi isu ini semakin tidak menjadi prioritas kebijakan, mengingat Prabowo sendiri dipertanyakan integritasnya terhadap prinsip-prinsip perlindungan HAM.

Pada akhirnya, presiden berikutnya akan harus menghadapi tantangan Indonesia yang terfragmentasi, ditandai oleh narasi kemunduran demokrasi dan meluasnya dinasti politik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now