Dibutuhkan kontribusi yang lebih baik dari beragam aktor, mulai dari pemerintah, platform digital hingga kelompok masyarakat sipil untuk melawan gangguan informasi pada menjelang Pemilu 2024.
Perangkat lunak pelacakan OpenFace menganalisis video asli Presiden Obama di sebelah kiri, dan deepfake “sinkronisasi bibir” di sebelah kanan.
UC Berkeley/Stephen McNally
Meningkatkan kesadaran tentang bahaya konten manipulatif dapat membuat masyarakat menjadi konsumen informasi yang lebih kritis melalui lokakarya, kampanye media, dan kurikulum pendidikan.
Ilustrasi kegiatan cek fakta.
Rino Putama/The Conversation Indonesia
TCID bekerja sama dengan Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), meluncurkan kolaborasi Panel Ahli Cek Fakta untuk menangkal dis/misinformasi menjelang Pemilu 2024.
Pada Pemilu 2024, fenomena penyebaran disinformasi kemungkinan besar akan terjadi lagi. Seluruh pihak berpotensi terpapar maupun ikut memproduksi disinformasi untuk beragam tujuan.
Penyebaran berita palsu melalui aplikasi pesan pribadi.
Henryk Ditze/Shutterstock
Secara psikologis, individu yang menerima informasi palsu secara perlahan membangun keyakinan mereka yang baru. Ini bisa mendorong mereka untuk ikut mendukung dan menyebar informasi itu.
Setelah mengakuisisi Twtter, Elon Musk mengusulkan bahwa pengguna bisa ‘membeli’ lencana verifikasi dengan harga hanya US$8. Sistem yang problematis ini akan punya konsekuensi yang luas.
Masyarakat lokal Papua menampilkan pertunjukkan tari daerah dalam Festival Danau Sentani.
Antara Foto
Riset terbaru kami menunjukkan bagaimana disinformasi yang mempromosikan narasi pro-pemerintah tentang otonomi khusus Papua membanjiri Twitter sejak Februari 2021.
Disinformasi adalah wabah yang menginfeksi semua bentuk media, tetapi banyak upaya dapat dilakukan mengendalikannya.
Upaya untuk mengurangi ketegangan antara Korea, seperti KTT antar-Korea 2018, sering menjadi sasaran kampanye disinformasi di Korea Selatan.
AP Photo/Ahn Young-joon
Disinformasi sedang diprivatisasi di seluruh dunia. Industri baru ini dibangun di atas kerjasama berbahaya dari tenaga kerja murah, algoritme teknologi tinggi, dan narasi nasional yang emosional.
Sebagai ruang publik baru, media sosial memiliki data penting bukan saja untuk penelitian ilmiah, tapi juga agar peneliti dapat terlibat mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat.
Amid the COVID-19 pandemic, Southeast Asian governments not only have to deal with the virus but also with the false information surrounding it.
Di tengah pandemi COVID-19, pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara tidak hanya harus menghadapi virus, tapi juga dengan informasi palsu yang berada di sekitarnya.
Jumlah pengecek fakta di Asia Tenggara terbatas; pengecekan fakta menjadi tantangan yang sulit untuk ditangani,
Petugas kesehatan dan penggali kuburan memakamkan jenazah dengan protokol kesehatan COVID-19, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tengku Mahmud Palas, Kota Pekanbaru, Riau, 4 September 2020.
ANTARA FOTO/FB Anggoro/hp.
Nurhayati, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara and Tri Bayu Purnama, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Selain mengedukasi masyarakat, Dinas Kesehatan harus juga mengedukasi ulama terlebih dulu tentang prosedur pemulasaraan jenazah yang terpapar COVID-19.
Politikus dan partai politik di Indonesia harus bisa menahan diri untuk tidak mengerahkan pasukan siber untuk memenangkan perebutan kekuasaan dalam pemilu dan membelah opini publik terkait kebijakanu .
Gerakan literasi digital membutuhkan kolaborasi antar pemerintah, platform media sosial dan masyarakat.
www.shutterstock.com