Maraknya misinformasi tentang ODGJ saat Pemilu dapat berakibat pada hilangnya hak dasar mereka untuk ikut serta dalam memilih. Apa saja jenis misinformasi ini?
Warga memeriksa kebenaran informasi melalui laman anti-hoaks Kemenkominfo di Senayan, Jakarta, Kamis 14 Januari 2024.
Muhammad Ramdan/Antara Foto
Dibutuhkan kontribusi yang lebih baik dari beragam aktor, mulai dari pemerintah, platform digital hingga kelompok masyarakat sipil untuk melawan gangguan informasi pada menjelang Pemilu 2024.
Ilustrasi kegiatan cek fakta.
Rino Putama/The Conversation Indonesia
TCID bekerja sama dengan Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), meluncurkan kolaborasi Panel Ahli Cek Fakta untuk menangkal dis/misinformasi menjelang Pemilu 2024.
Aktivitas cek fakta masih terpusat di media sosial, padahal misinformasi juga cepat menyebar melalui aplikasi perpesanan seperti Whatsapp. Notifikasi push yang dipersonalisasi dapat membantu.
Ilustrasi paparan hoaks, disinformasi dan berita palsu.
Shyntartanya/Antara Foto
Pada Pemilu 2024, fenomena penyebaran disinformasi kemungkinan besar akan terjadi lagi. Seluruh pihak berpotensi terpapar maupun ikut memproduksi disinformasi untuk beragam tujuan.
Penyebaran berita palsu melalui aplikasi pesan pribadi.
Henryk Ditze/Shutterstock
Secara psikologis, individu yang menerima informasi palsu secara perlahan membangun keyakinan mereka yang baru. Ini bisa mendorong mereka untuk ikut mendukung dan menyebar informasi itu.
Kita sering menganggap misinformasi bisa mengarahkan pada keyakinan yang salah, dan kemudian menyebabkan perilaku antisosial. Sejauh ini hanya ada sedikit bukti yang mendukung argumentasi tersebut.
Riset kami menemukan bahwa meski Gen Z di Indonesia cenderung percaya pada sumber kredibel, mereka masih kesulitan mendeteksi hoaks yang beredar di media sosial.
Membangun budaya rasionalitas di kampus bisa membantu menegakkan asas penalaran dan kebenaran ilmiah, sekaligus mengurangi hoaks - bahkan yang rawan disebarkan oleh seorang profesor.
Pada suatu era yang semakin susah untuk membedakan antara kebenaran dan informasi palsu, Wikipedia hadir sebagai alat yang aksesibel untuk mendukung proses cek fakta dan melawan misinformasi.
Bersama dengan Gunadi, peneliti genetika di Universitas Gadjah Mada, kami membongkar berbagai pertanyaan dan mitos tentang COVID-19 yang sudah terlebih dulu kami himpun melalui Instagram dan Twitter.
Laporan Microsoft Digital Civility Index 2021 bulan lalu mengatakan warganet Indonesia “tidak sopan”. Penyebab utamanya adalah tingkah laku berinternet dari orang dewasa (usia 18-74).
Sebagai ruang publik baru, media sosial memiliki data penting bukan saja untuk penelitian ilmiah, tapi juga agar peneliti dapat terlibat mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat.
Presiden Joko Widodo (kiri) disuntik dosis kedua vaksin COVID-19 produksi Sinovac oleh vaksinator Wakil Ketua Dokter Kepresidenan Prof Abdul Mutalib di halaman tengah Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/1/2021). Penyuntikan dosis kedua vaksin COVID-19 ke Presiden Joko Widodo tersebut sebagai lanjutan vaksinasi COVID-19 tahap pertama 13 Januari 2021 . ANTARA FOTO/HO/Setpres-Muchlis Jr/wpa/hp.
Antar Foto
Faktor psikologis mampu mendorong masyarakat untuk menerima vaksin, untuk itu pandangan dari ekonomi perilaku bisa digunakan.
Amid the COVID-19 pandemic, Southeast Asian governments not only have to deal with the virus but also with the false information surrounding it.
Di tengah pandemi COVID-19, pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara tidak hanya harus menghadapi virus, tapi juga dengan informasi palsu yang berada di sekitarnya.