Rilis terbaru hasil PISA 2022 awal Desember lalu membuat banyak pihak bergembira karena adanya kenaikan peringkat. Namun benarkah pendidikan di Indonesia sudah benar-benar terbebas dari masalah?
Akibat pandemi COVID-19, siswa di Indonesia mengalami learning loss. Vovan/Shutterstock.
Pandemi COVID-19 membawa tantangan nyata bagi dunia pendidikan. Salah satu yang paling sering disebut adalah ‘learning loss’. Sudah pulihkah kita dari kondisi tersebut?
Diyan Nur Rakhmah, Indonesian Education Standard, Curriculum, and Assessment Agency (BSKAP Kemdikbudristek) and Lukman Solihin, Indonesian Education Standard, Curriculum, and Assessment Agency (BSKAP Kemdikbudristek)
Di tengah kekhawatiran turunnya minat baca siswa akibat pandemi, sekolah dan perpustakaan justru gencar berinovasi.
Setelah ditiadakannya UN, kebijakan pendidikan dan metode mengajar seperti apa yang tepat bagi guru di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains?
Siswa SD Islam Ar-Rahman mengunjungi gereja di SD Kristen Petra Jombang, Jawa Timur (5/11/2019).
(ANTARA FOTO/Syaiful Arif)
Melalui tulisan ini, kami merekomendasikan tiga cara agar sistem pendidikan Indonesia dapat mendukung pencegahan tumbuhnya ideologi kekerasan dan ekstremisme.
Kami memetakan capaian belajar siswa menggunakan data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) periode 2000–2014. Ternyata, hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000.
Skor membaca siswa Indonesia pada PISA 2018 masih sama persis dengan saat pertama kali mengikuti PISA pada tahun 2000.
(ANTARAFOTO/LUCKY R)
Program nasional selama 15 tahun gagal atasi krisis literasi di Indonesia. Skor membaca siswa Indonesia pada PISA 2018 masih sama persis dengan saat pertama kali mengikuti PISA pada tahun 2000.
Para siswa SMP membaca koran secara bersamaan di Batang, Jawa Tengah, 19 November 2019.
Onyengradar/Shutterstock
Literasi rendah juga berkontribusi secara signifikan terhadap kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan. Hasil PISA memberikan diagnosis masalah pendidikan,
Menurut riset, sekitar 25% anak setinggi kelas lima SD masih kesulitan memahami paragraf pendek.
Shutterstock
Peneliti Indonesia mengembangkan insturumen uji kemampuan membaca dan berhitung untuk tingkat sekolah dasar (SD) yang terinspirasi dari India. Hasil risetnya cukup mengkhawatirkan.
Cara pandang yang perlu dihindari adalah memperlakukan sekolah sebagai pabrik yakni memproduksi lulusan melalui nilai ujian nasional, mempekerjakan “mesin” guru, dan pakai sistem produksi kurikulum.
Jejak digital bisa jadi beban tetapi bisa juga malah menjadi aset masa depan anak.
Shutterstock
Sudah banyak orang tua tahu hal-hal negatif berkenaan dengan jejak digital kita dan anak-anak. Tetapi banyak yang belum tahu bahwa jejak digital bisa membangun masa depan anak.
Jika anak muda kehilangan kepercayaan pada informasi sama sekali, dampak jangka panjangnya bisa lebih merugikan.
Shutterstock
Penelitian di sembilan kota berhasil memetakan 342 kegiatan literasi digital dari 2010-2017. Upaya ini masih terbatas ketika dihadapkan pada masalah gagap digital Indonesia.
Di Indonesia, hanya 13,1% populasi yang membaca surat kabar. Dan di Jakarta hanya 5,4% populasi bisa menangkap informasi dari teks yang panjang.
www.shutterstock.com
Model literasi Indonesia seharusnya menimbang budaya lisan, budaya komunal, dan budaya digital—bukan hanya angka melek huruf—agar bisa mendorong kemampuan literasi dengan lebih baik.
Kelesuan penjualan di gerai-gerai buku di tahun 2014 bisa jadi bukan soal penurunan produksi dan konsumsi buku tetapi menunjukkan perubahan pola.
Shutterstock
Dunia baru industri buku—ditandai oleh penurunan penjualan di toko konvensional dan meriahnya distribusi alternatif—memberi peluang bagi buku “serius tapi ‘non-best seller’ untuk menaikkan penjualan.
Buku-buku dalam daftar ini digarap dengan sangat serius, berdampak atau punya nilai sejarah penting di bidangnya, menjadi penanda satu generasi, atau berpotensi mengubah cara berpikir mereka yang disasar sebagai pembacanya.
www.shutterstock.com
Dari sejarah gerakan kiri, filsuf Mataram, hingga Lagak Jakarta: inilah kesembilan buku yang menurut sosiolog dan pegiat buku Geger Riyanto harus Anda baca sebelum usia 40.
Lecturer of Research Methodology of Communication Studies & Media Studies. Member of PhD Program at Universiti Sains Malaysia (USM) Pulau Pinang, S, Universitas Islam Bandung