Dedi Arman, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Perlahan dan pasti, Orang Laut menjadi korban kekerasan infrastruktur di perairannya sendiri akibat pembangunan yang tidak berorientasi pada kehidupan laut.
Ladang Gilir Balik di antara rimbunan hutan dan kebun wanatani. Semuanya menjadi mozaik bentang alam yang turut menjaga kelestarian daerah tangkapan air Danau Sentarum.
(Rifky/CIFOR)
Elizabeth Linda Yuliani, Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) and Hasantoha Adnan Syahputra, Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF)
Praktik ladang berpindah Gilir Balik justru berperan menjaga kelestarian lingkungan di Kalimantan Barat.
Elizabeth Linda Yuliani, Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) and Hasantoha Adnan Syahputra, Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF)
Melihat lebih dekat tradisi ladang berpindah Gilir Balik yang sudah berlangsung selama ratusan tahun dan menopang kehidupan masyarakat Ngaung Keruh di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Foto udara hutan di Pulau Halmahera.
(Eustaquio Santimano/Flickr)
Orang Tugutil sangat dekat dengan alam. Hingga tiba perusahaan tambang dan kayu membuat mereka tersingkir dan terpaksa beradaptasi dengan kehidupan lainnya.
Liang batu karst: tempat orang Punan Batu berlindung.
Pradiptajati Kusuma/The Conversation Indonesia.
Suku Punan Batu di Kalimantan adalah salah satu kelompok pemburu-pengumpul nomaden aktif yang masih ada di dunia. Mereka memiliki keunikan yang berbeda dari kelompok lain di Kalimantan.
Warga asli dari lima kampung yakni Pasir Merah, Belongkeng, Pasir Panjang, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu yang terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City Pulau Rempang tahap pertama menggelar aksi solidaritas dan doa bersama menolak untuk direlokasi.
(Teguh Prihatna/Antara)
Penjajahan dilakukan oleh pihak-pihak yang kuat, tak hanya pihak asing. Masyarakat adat menjadi pihak terjajah karena ruang hidup yang terebut dan hak-hak mereka diberangus.
Lumbung tradisional di dalam kompleks perumahan kepala desa di Jawa Barat, Indonesia. Kalpana Jain/ The Conversation.
Klaim masyarakat adat atas tanah leluhur mereka sangatlah sulit, dan sering kali bergantung pada kemampuan masyarakat untuk meyakinkan pihak berwenang setempat. Mengapa demikian?
Pemandangan hutan hujan primer di desa Honitetu, Kabupaten Seram Barat, provinsi Maluku, Indonesia pada 23 Agustus 2017. (Ulet Ifansasti/CIFOR), CC BY-NC-ND.
Kisah-kisah di dalam “Sureq Galigo” tetap hidup dalam tradisi lisan dan norma adat masyarakat di berbagai wilayah di Sulawesi. Begitu juga dengan etika lingkungan di dalamnya.
Ada beberapa kemiripan menarik antara Klan Metkayina dengan gipsi laut di Indonesia, mulai dari cara hidup, hingga konflik yang mengancam kebudayaan mereka.
Kekacauan tata kelola seperti itu tidak saja berakibat buruk bagi kelangsungan konservasi, tetapi juga merusak reputasi pariwisata kita sebagai destinasi yang berkualitas rendah.
Wisatawan mengamati pernak-pernik yang dijual warga Suku Baduy Luar di Kampung Kaduketug, Lebak, Banten.
(Sumber: Muhammad Bagus Khoirunas/Antara)
Partisipasi warga penting karena pariwisata dapat mengubah struktur masyarakat. Apalagi, sektor ini tengah bergairah setelah relaksasi perjalanan pasca-pandemi, ditambah budaya viral di media sosial.
Aksi masyarakat Papua menolak perpanjangan otonomi khusus.
Evarukdijati/Antara