Maya Defianty, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta and Kate Wilson, University of Canberra
Ketika mengajarkan kemampuan berpikir kritis, guru masih terjebak pada kebiasaan lama yang sudah mendarah daging. Ini termasuk pembelajaran berbasis hafalan dan mentalitas “mengajar untuk ujian”.
Ranny Rastati, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Korea Selatan adalah salah satu negara dengan sistem pendidikan paling kompetitif di dunia. Siswa berlomba-lomba untuk diterima di universitas favorit. Pun demikian, banyak problem yang membuntuti.
Setelah ditiadakannya UN, kebijakan pendidikan dan metode mengajar seperti apa yang tepat bagi guru di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains?
Maya Defianty, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanpa sosialisasi yang jelas dan pembekalan guru yang cukup, asesmen baru ala Nadiem akan sekadar menggantikan UN tanpa banyak perbedaan - wajahnya baru, mentalnya sama.
Maya Defianty, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Pertanyaanya, apakah guru sudah siap menerima peran dan tanggung jawab ini? Dengan kata lain, apakah guru sudah memiliki kompetensi yang memadai untuk mengaplikasikan penilaian formatif?
Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan digantinya Ujian Nasional dengan suatu ‘Asesmen Kompetensi Minium’. Kami berbicara dengan dua pakar untuk memahami bagaimana sebaiknya asesmen ini dijalankan.
Peneliti Indonesia mengembangkan insturumen uji kemampuan membaca dan berhitung untuk tingkat sekolah dasar (SD) yang terinspirasi dari India. Hasil risetnya cukup mengkhawatirkan.
Melemparkan masalah internal sekolah untuk diselesaikan oleh bimbel bukan hanya ibarat lembar “handuk” sembunyi tangan, tapi ini kegagalan dalam mendiagnosis sumber masalah di pendidikan formal.