Upaya meberantasan kekerasan seksual di lingkungan kampus memerlukan inisiatif dari para perguruan tinggi, aksi dari pemerintah, dan aktivisme di level akar rumput.
Sebagian besar pelaku kekerasan seksual bukan hanya sekedar orang yang dikenal tapi juga dipercaya oleh korban seperti pacar, tetangga, guru bahkan ayah kandung sendiri.
Mekanisme perdamaian pada perkara kekerasan seksual sangat sulit untuk diterapkan, karena adanya kondisi relasi kuasa yang kuat antara pelaku dan korban.
Jika tujuannya adalah pencegahan kekerasan seksual, maka yang perlu diutamakan adalah intervensi sosial, seperti pendidikan seksual serta edukasi terhadap pelajar.
IJRS membedah 735 putusan pengadilan selama 2018-2020 dan menemukan mayoritas korban kekerasan seksual adalah anak perempuan di bawah umur yang diperkosa pacar atau keluarga sendiri.
Pelaku kekerasan seksual dan aparat penegak hukum kerap menyalahkan dan meneror korban, sehingga banyak korban berujung meminta maaf, menarik laporannya, atau bahkan dikriminalisasi balik.
Untuk membedah peraturan menteri tentang penanganan kekerasan seksual di kampus yang belum lama ini diterbitkan, pada episode SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Lidwina Inge Nurtjahyo dari UI.
Solusi menikahkan korban dan pelaku tidak hanya merampas korban dari berbagai hak yang dimilikinya, tapi juga menunjukkan betapa sistem hukum di Indonesia belum memihak pada korban kekerasan seksual.
Perempuan korban perkosaan inses tidak bisa memberontak karena tekanan lingkungan dan ketergantungan finansial, dan anggota keluarga lain tidak memiliki kekuatan untuk menolong korban.
Penjualan tanpa resep untuk gamma-hydroxybutirate (GHB) di Amerika Serikat dilarang pada 1990 karena efek sampingnya, termasuk gerakan yang tidak terkendali dan depresi sistem pernapasan dan saraf.
Berbagai universitas mulai membuat pedoman atau SOP penanganan kekerasan seksual di kampus. Kami berbicara dengan dosen di balik SOP tersebut untuk mengetahui apa yang bisa dicontoh oleh kampus lain.