Minat belajar bahasa Indonesia di Australia terus menurun setiap tahunnya. Menariknya, keprihatinan tersebut lebih banyak muncul dari pihak-pihak di Australia dan bukan oleh Indonesia.
Banyak perguruan tinggi dunia memberikan gelar kehormatan dengan dalih memberi pengakuan kepada individu yang dianggap berkontribusi di bidangnya. Tapi benarkah realitasnya demikian?
Masih banyak masyarakat yang belum memahami apa itu G20, apa tujuannya dan apa gunanya bagi negara-negara di seluruh dunia secara umum, dan bagi Indonesia secara khusus.
Kehadiran ibu negara dalam kegiatan diplomatik menunjukkan adanya norma-norma feminin di tengah arena politik internasional – yang saat ini masih didominasi laki-laki dan bercorak maskulin.
Gedung kantor perwakilan diplomatik merupakan wilayah yurisdiksi ekstrateritorial dari negara pengirim, sehingga pada gedung tersebut berlakulah hukum negara asalnya, bukan negara lokasi gedungnya.
Makanan bisa menjadi kekuatan soft power yang tidak hanya membantu melerbarkan pengaruh, namun juga mendekatkan. Indonesia bisa menggunakan metode diplomasi ini dalam perhelatan G20 nanti.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Cina menggunakan beasiswa kuliah untuk membentuk pandangan politik para santri Indonesia terkait isu seperti diskriminasi terhadap minoritas Uyghur.
Diplomasi antariksa saat ini jauh berbeda dari awal kemunculan pada Perang Dingin yang sarat kepentingan politik perebutan pengaruh Blok Barat dan Blok Timur.
Diplomat merasakan kondisi pertemuan diplomasi secara virtual berbeda dibandingkan dengan pertemuan tatap muka. Mereka merasa “terkurung” dalam layar yang sempit.
Ketika kampus di Australia menutup program bahasa Indonesia, mereka mengabaikan peran mereka dalam mempromosikan ikatan dengan Indonesia. Di masa depan, ini bisa melukai relasi Australia-Indonesia.
Wilayah Teluk Arab bisa menjadi pintu gerbang bagi Indonesia untuk menjauh dari orbit Cina dan AS. Ini juga menyediakan pasar dan mitra investasi yang berpotensi menguntungkan.
Pemerintah seharusnya bisa mulai mempertimbangkan untuk menyusun strategi upaya perdamaian dan pemberian bantuan luar negeri yang sesuai dengan dan dapat memenuhi kepentingan nasional.
Diplomasi bantuan mampu meningkatkan pengaruh Indonesia di Pasifik Selatan dan berdampak pula menurunnya dukungan beberapa negara di kawasan itu terhadap separatisme Papua.
Professor of Public Policy, Psychology and Behavioral Science, USC Sol Price School of Public Policy, USC Dornsife College of Letters, Arts and Sciences