Indonesia masih mengandalkan proses kerja manual dalam mengelola pertaniannya. Digitalisasi perlu diperkuat demi mencegah penurunan produktivitas dan ancaman kerawanan pangan.
Wakil tim sukses calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, Grace Natalie, mengkalim kita kekurangan lahan pertanian dan terancam krisis pangan. Tepatkah pernyataannya?
Jonatan A Lassa, Charles Darwin University; Ermi Ndoen, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang, and Yosep Seran Mau, Universitas Nusa Cendana
Ketimbang menjadikan beras sebagai musuh diabetes secara total dengan peralihan pada sumber diet alternatif rendah karbohidrat, sesungguhnya ada beberapa jalan keluar.
Sebelum “hegemoni” beras, masyarakat suku Tolaki mengenal tanaman sagu sebagai bahan pangan pokok. Sayangnya, politik pangan membuat sagu perlahan-lahan tersisihkan.
Banyak laki-laki melihat daging sebagai bagian inti dari identitas mereka. Itu bisa menjadi batu sandungan bagi sektor daging nabati yang baru populer.
Pemerintah semestinya mendukung relokalisasi sistem pangan agar masyarakat setempat memiliki kuasa mengembangkan sistem pangan sendiri sesuai karakteristik kaum masing-masing.
Mayoritas kedelai PRG diimpor dari Amerika Serikat. Walau PRG telah banyak dikonsumsi di Indonesia, ada berapa misinformasi terkait dampak produk ini yang perlu diposisikan secara benar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah, seharusnya dapat bersatu untuk mengatasi masalah dioksin pada makanan.
Tanpa data dan informasi sumberdaya lahan dan tanah yang akurat, detail dan akuntabel peningkatan produksi pertanian tidak optimal. Akibatnya ketahanan pangan penduduk Indonesia menjadi taruhannya.
Assistant Professor, Lecturer, Head of Food Processing Laboratory, Food Technology Study Program, Faculty of Biotechnology, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya